Tahun 2018, digambarkan dengan satu kata “struggle” atau dalam bahasa Indonesia diungkapkan sebagai perjuangan. Perjuanganku dalam meraih gelar PhD masih belum selesai. Walau aku berhasil mempublikasikan satu jurnal, nyatanya hal tersebut tak cukup. Haruskah aku berhenti berjuang?
Dengan berdasarkan dilema tersebut, di akhir tahun 2018 aku memutuskan untuk pulang ke tanah air. Hatiku cukup patah, eh nggak deh. Tepatnya amat sangat patah, ketika professor ku tidak mengijinkan ku untuk wisuda bulan maret ini. Padahal berdasarkan standard kelulusan umum PhD, aku sudah boleh maju sidang. Namun kualitas risetku sebagai seorang yang akan bergelar doktor masih belum dianggap pantas. Perasaan yang aku rasakan adalah pupus. Seolah-olah hampir saja aku genggam gelar tersebut, namun harus ku lepaskan kembali. Setiap kali ingin ku memulai membuat artikel jurnal yang kedua, ujung-ujungnya aku menangis dan marah. Marah pada semua hal, sehingga berujung pada kalimat
Kalau ditanya, apakah kesalahan terbesarku dalam menempuh hidup selama 27 tahun ini? Mengambil sekolah PhD akan menjadi jawabannya.


Mungkin aku melakukan pengulangan bahwa aku patah hati berat dengan kondisi PhD ku. Karena hal yang membawaku terbang ke Jepang adalah untuk menjadi seorang PhD sebelum berusia 28 tahun. Kunyatakan hal tersebut pada para profesorku ketika bertanya tentang mimpi.

aku pun menjawab
“Hal yang membuatku ingin hidup dan menjadikan pertaruhan untuk mati adalah meraih gelar PhD”
lalu prof Jan menjawab
“that’s ridiculous (Itu konyol!), gelar PhD hanyalah sebuah pengakuan di atas kertas. Tak pantas untuk diperjuangkan sampai mati.”
Jadi sebenarnya apa yang harusnya diperjuangkan untuk membuat suatu hal tersebut pantas untuk diperjuangkan sampai mati?
Leave a comment